Rabu, 02 November 2016

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA “AKSI BOM BALI TAHUN 2002”

ILMU BUDAYA DASAR 2
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
“AKSI BOM BALI TAHUN 2002”

NAMA : ADHI ANGGRA KUSUMA PUTRA

KELAS : 1PA15

TUGAS : ESAI (Hak Asasi Manusia)

NPM : 10516128

FAKULTAS : PSIKOLOGI

DOSEN PENGAMPU : ARI MUHARIF

LINK BLOG : http://adhianggra1pa15.blogspot.co.id/2016/11/pelanggaran-hak-asasi-manusia-aksi-bom.html

Universitas Gunadarma
Bekasi
2016

AKSI BOM BALI TAHUN 2002

Bom Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I) adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat oleh teroris, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005.

Kepanikan sempat melanda di penjuru Nusantara akibat peristiwa ini. Aksi bom bali ini juga banyak memicu tindakan terorisme di kemudian hari. Peristiwa bom bali menjadi salah satu aksi terorisme terbesar di Indonesia. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.Tim Investigasi Gabungan Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini menyimpulkan, bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50-150 kg.Peristiwa Bom Bali I ini juga diangkat menjadi film layar lebar dengan judul Long Road to Heaven, dengan pemain antara lain Surya Saputra sebagai Hambali dan Alex Komang, serta melibatkan pemeran dari Australia dan Indonesia

Kawasan Legian, Kuta, Bali, tidak pernah tidur. Keramaian justru memuncak menjelang tengah malam. Malam itu, Sabtu 12 Oktober 2002, waktu menunjukkan pukul 23.30, namun geliat kehidupan masih terlihat. Sebagian besar penduduk kota Denpasar dan Kabupaten Badung mulai beranjak tidur. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ledakan yang amat dahsyat. Bom yang meledak di depan Paddy’s tidak terlalu besar. Walau sebagian pengunjung panik, sebagian lainnya masih tetap asyik mendengar musik di pub itu. Tetapi, selang beberapa menit, ledakan lebih dahsyat terjadi di depan Sari Club. Ledakan itu menelan korban tewas 184 orang, 250 orang luka-luka, 47 bangunan hancur, dan ratusan mobil rusak berat. Getaran ledakannya terasa hingga 12 kilometer. Sedangkan bunyi ledakan terdengar hingga puluhan kilometer. Adapun asapnya tinggi menjulang ke awan hingga seratus meter, membentuk cendawan api raksasa yang sangat menyilaukan bahkan membutakan mata. Ledakan itu sendiri meninggalkan sebuah lubang besar berdiameter 5 x 4 meter dan kedalaman 1,5 meter. Bau amis darah sangat menyengat, semua orang berlari dan menjerit panik atau merintih kesakitan.

Hasil penelusuran awal kepolisian mengungkapkan, bom yang diledakkan di Jalan Legian dibawa oleh taksi yang ditumpangi tiga orang berwajah Melayu. Bom itu diduga diletakkan di bawah mobil. Di depan Paddys Cafe, tiga orang yang ada di dalam taksi keluar meninggalkan taksinya. Setelah itulah terjadi ledakan di Paddy’s, yang tak lama disusul dengan ledakan kedua di Sari Club.

Amrozi bin Nurhasyim adalah seorang terpidana yang dihukum mati karena menjadi penggerak utama dalam Peristiwa Bom Bali 2002. Ia berasal dari Jawa Timur. Amrozi disebut-sebut termotivasi ideologi Islam radikal dan anti-Barat yang didukung organisasi bawah tanah Jemaah Islamiyah. Pada 7 Agustus 2003, ia dinyatakan oleh pengadilan bersalah atas tuduhan keterlibatan dalam peristiwa pengeboman tersebut dan divonis hukuman mati. Namun undang-undang yang digunakan untuk memvonisnya ternyata kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung pada Juli 2004.
Awalnya dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan di Denpasar, ia lalu dipindahkan ke LP Nusakambangan pada 11 Oktober 2005 bersama dengan Imam Samudradan Mukhlas, dua pelaku Bom Bali lainnya.
Sikap Amrozi yang tampak tidak peduli sepanjang pengadilannya membuatnya sering dijuluki media massa The Smiling Assassin (Pembunuh yang Tersenyum). Amrozi dihukum mati pada hari Minggu, 9 November 2008 dini hari.

Pihak Kejaksaan Agung melalui Kapuspenkum M. Jasman Panjaitan menyatakan, tiga terpidana mati bom Bali telah dieksekusi dengan cara ditembak. Amrozi, kakaknya Mukhlas alias Ali Ghufron, dan pemimpin kelompok Imam Samudra alias Abdul Azis, yang terbukti bertanggung jawab dalam serangan bom yang menewaskan setidaknya 202 orang di Bali tersebut, dinyatakan tewas dengan luka tembak di bagian jantung, demikian hasil otopsi tim dokter forensik Polda Jawa Tengah.

Sumber di LP Batu Nusakambangan menyebutkan, terpidana mati menyerukan “Allahu Akbar” ketika dibawa dari sel isolasi oleh anggota Gegana menuju mobil. Mobil tersebut kemudian melaju ke sebuah tempat yang Nirbaya. Nirbaya adalah bekas lembaga pemasyarakatan peninggalan Belanda yang dijadikan tempat eksekusi bagi para terpidana mati.

Terdakwa kasus terorisme Umar Patek bercerita saat dirinya ikut membantu Mukhlas Cs meracik dan merakit Bom Bali 2002, di sebuah kontrakan di Jalan Menjangan, Bali  Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Umar Patek mengaku datang ke Bali atas perintah Mukhlas, yang ingin melakukan pembalasan untuk umat muslim di Palestina.

Meskipun Umar Patek sempat tidak sepaham dengan aksi tersebut, dengan berberat hati dirinya harus mengikuti apa kata seniornya Dulmatin saat itu. Ia tidak punya alasan lain kenapa ikut ke Bali saat itu. “Saya hanya ikut Dulmatin,” ujarnya dalam persidangan, Senin (7/5/2012). Umar Patek selalu merasa berat bila harus menolak permintaan Dulmatin. Sebab, Dulmatin kerap kali membantunya dalam urusan risiko dapur.

Mengingat kasus Bom Bali ini telah menewaskan ratusan orang, terlebih banyak orang asing yang menjadi sasaran utama dari peristiwa naas ini. Tak luput kita sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan bias merasakan kehilangan anggota keluarga yang dicintai untuk memberikan simpati terhadap keluarga korban dari peristiwa itu.
Salah satu bentuk simpati terhadap keluarga yang ditinggal akibat tragedi 12 Oktober 2002 tersebut, tidak lain dalam wujud konkret dengan perlu dibuatnya peraturan tentang penetapan waktu yang tegas dalam hal waktumenanti saatnya eksekusi mati terhadap terpidana
Walaupun tidak ada jaminan bahwa dengant tereksekusinya para terpidana kasus bom bali ini dapat mengembalikan korban, setidaknya dengan ketepatan waktu dalam melaksanakan eksekusi mati ini dapat meringankan beban atau mengurangi perih dan duka bagi keluarga korban.

REFRENSI